Romantisme Dingin Kota Liwa

Teluk Betung -  Tanjung Karang Lampung

Suhu di Liwa nggak main-main. Apalagi buat orang seperti saya yang terbiasa dengan cuaca panas. Badan saya langsung kikuk saat bangun pagi. Saya baru bisa mandi jam 9. Itu juga pelan-pelan biar badan nggak kaget.

Saya sampai ditantang warga, "Coba kamu pakai jaket siang begini, gak keringatan kan?" Lucunya, badan saya tetap kering meski memakai jaket di siang bolong.

Kalau sehabis hujan, kabut tebal dengan cepat turun dari balik gunung. Jalanan di Liwa sebentar saja sudah tertutupi kabut. Ini semua karena letak ibu kota Lampung Barat ini berada di Bukit Barisan.

Gara-gara lokasinya di dataran tinggi itu juga Liwa selamat dari polusi cahaya. Langit malamnya dipadati bintang-bintang! Mirip dengan yang bisa dilihat di Planetarium. Kadang-kadang saya jadi bersyukur saat mati lampu. Debu Bimasakti nyaris terlihat! Romantis!

Cuaca khas pegunungan di Liwa benar-benar dimanfaatkan warga untuk berkebun. Mayoritas mereka mengelola ladang buah, berdagang sayur, atau menanam sayuran sendiri di bukit-bukit. Herannya, biarpun menjadi daerah asal muasal bahan baku memasak, harga makanan di Liwa justru mahal-mahal! Satu kali makan bisa 15 sampai 25 ribu!

Dari menu makanan yang dijual, Liwa memang kehadiran banyak pendatang. Lihat saja, makanan yang paling gampang ditemui adalah kalau bukan bakso, pecel lele, yah, tentu saja masakan padang.

2 comments:

  1. Kak, mohon pencerahannya.. Romatisme artinya apa kak? R-O-M-A-T-I-S-M-E

    ReplyDelete